Bertani Atau Menganggur? — Kegagalan Program Petani Milenial
(case real, tapi tokoh & lokasi disamarkan)
Konteks Kasus
Pada awal periode jabatannya, Bupati Rahmat Iskandar di sebuah Kabupaten menggagas program unggulan: “Petani Milenial Mandiri”, yang menargetkan 5.000 pemuda usia 17–35 tahun untuk kembali ke sektor pertanian. Kabupaten ini memiliki 78% wilayah agraris, namun setiap tahun kehilangan 1.200 petani muda karena urbanisasi dan alih profesi.
Program ini menyediakan:
- Pelatihan pertanian modern
- Bantuan bibit dan pupuk
- Kredit lunak pertanian kerja sama dengan BUMD
- Lahan sewa murah dari tanah kas desa
Namun, pada tahun kedua program berjalan, tingkat drop-out peserta mencapai 68%, dan hanya 14 kelompok tani muda yang benar-benar aktif dari 122 kelompok awal. Banyak peserta mengeluh: “Lapangannya tidak sesuai dengan pelatihannya,” dan “kami tidak tahu harus menjual ke mana.”
Masalah Utama
- Program tidak berbasis kajian menyeluruh, hanya mengadopsi pendekatan copy-paste dari daerah lain.
- Tidak ada policy brief yang mempertimbangkan rantai pasok, infrastruktur pasar, atau minat riil pemuda.
- Pemerintah hanya berfokus pada supply side (latihan, lahan, bibit), tanpa membangun sisi demand (pasar, akses distribusi, pembeli).
Solusi LKSP: “Kajian & Policy Brief Daerah”
1. Pengembangan Evidence-Based Policy
LKSP membantu Pemkab dengan pendekatan berbasis data:
- Survei 1.000 anak muda desa mengenai persepsi mereka terhadap profesi petani
- Analisis rantai pasok 3 komoditas utama (padi, jagung, hortikultura) di wilayah tersebut
- Pemetaan data tanah kas desa vs potensi aksesibilitas (jarak ke jalan raya, irigasi, dan gudang)
Temuan penting:
- Hanya 23% pemuda tertarik jadi petani penuh waktu. Sisanya lebih tertarik model agri-preneur (olah hasil, bukan tanam langsung)
- 72% tanah kas desa yang ditawarkan berada di lokasi sulit air dan jauh dari jalan
- Tidak ada skema pasti untuk pembeli hasil panen, membuat petani muda ragu melanjutkan usaha
2. Kajian Kebijakan Strategis Per Sektor
LKSP kemudian menyusun kajian sektor pertanian dengan fokus pada integrasi hulu-hilir, yaitu:
- Insentif usaha pengolahan pascapanen bagi pemuda
- Kemitraan lokal dengan hotel, restoran, dan koperasi tani sebagai off-taker
- Insentif bagi desa yang membangun BUMDes berbasis pertanian modern
3. Penulisan White Paper & Policy Brief
LKSP menulis white paper “Dari Petani ke Agripreneur: Model Replikasi Generasi Muda Pertanian” yang berisi:
- Rekomendasi desain ulang program “Petani Milenial Mandiri”
- Model skema pembiayaan baru berbasis hasil (bukan kredit tetap)
- Panduan pelatihan 2 arah: agribisnis + digital marketing
Policy brief 4 halaman juga dibuat untuk diserahkan ke DPRD, berisi ringkasan masalah, data lapangan, dan langkah yang bisa didukung lewat anggaran legislatif.
Output yang Dicapai
- DPRD menyetujui revisi program dan mengalokasikan Rp2,5 miliar tambahan untuk inkubasi agri-startup pemuda.
- Pemerintah kabupaten menetapkan 10 desa sebagai pilot project model integrasi hulu-hilir berbasis rekomendasi LKSP.
- Pada tahun ke-3, jumlah petani milenial aktif naik dari 14 kelompok menjadi 42 kelompok, meski masih di bawah target awal.
Post Analisis: Mengapa Hasil Tidak Maksimal?
1. Terlalu Lambat Berubah
Program sudah berjalan 1,5 tahun sebelum direvisi, sehingga banyak peserta sudah kehilangan kepercayaan dan tidak kembali.
2. Kepemimpinan Teknis Tidak Siap
Dinas pertanian terlalu fokus pada penyuluhan teknis, tidak memiliki kapasitas untuk membina agribisnis muda dan membuat kemitraan strategis.
3. Tidak Ada Insentif Sosial
Menjadi petani muda belum dianggap “prestise” di desa. Tidak ada pengakuan sosial atau simbol sukses yang membuat profesi ini menarik secara sosial.
Lesson Learnt
- Kebijakan harus berbasis bukti, bukan ambisi. Narasi keren seperti “Petani Milenial” akan runtuh kalau tidak ditopang oleh data dan realitas lapangan.
- Program publik tidak boleh hanya fokus pada ‘input’, tapi harus mencakup seluruh ekosistem dari hulu ke hilir.
- Policy brief yang tajam dan ringkas bisa menjadi jembatan komunikasi efektif antara eksekutif dan legislatif.
Penutup
Kasus di Kabupaten Ini menjadi bukti bahwa kebijakan strategis memerlukan kajian mendalam, bukan sekadar niat baik. LKSP hadir untuk membantu kepala daerah dan aleg membangun kebijakan publik yang berdampak dan berkelanjutan, melalui kajian mendalam, data yang kuat, dan komunikasi yang presisi.