Skip to Content

Ketika Citra Tak Sejalan dengan Kerja Nyata



Ketika Citra Tak Sejalan dengan Kerja Nyata


(case real, tapi tokoh dan lokasi disamarkan)


Konteks Kisah


Pada tahun ke-3 masa jabatannya, Arwan, seorang bupati dari sebuah kabupaten dengan 1,2 juta penduduk di provinsi barat Indonesia, mulai menghadapi penurunan persepsi publik. Padahal, sejak menjabat, ia telah membangun berbagai infrastruktur dasar seperti jalan desa, klinik kesehatan, dan pelatihan pemuda berbasis digital. Namun, dalam survei internal awal tahun, elektabilitasnya untuk Pilkada berikutnya hanya berada di angka 27%, jauh di bawah target 40% minimal untuk maju dengan kepercayaan diri.

Hasil survei juga menunjukkan:

  • 49% publik tidak tahu siapa yang sebenarnya menggagas program-program yang mereka nikmati.
  • 36% responden mengira program-program itu dari provinsi atau pusat.
  • Hanya 14% yang bisa menyebutkan “narasi besar” dari kepemimpinannya

Masalah Utama


Bupati bekerja, tapi tidak berhasil membangun brand politik. Tak ada narasi besar yang menancap di benak publik. Advokasi kebijakannya tidak menyentuh ruang diskusi publik atau media lokal secara efektif.


Solusi LKSP : “Smart Branding & Advokasi”


1. Survei Elektabilitas dan Persepsi Publik


Survei dilakukan dengan desain yang lebih diagnostik, memetakan persepsi terhadap 10 program unggulan Bupati dan sejauh mana publik tahu siapa aktor di baliknya. Hasilnya:

  • Tingkat ketidaktahuan publik terhadap penggagas program tinggi di usia 40+
  • Nama Wakil Bupati lebih dikenal karena aktif di media sosial
  • Tokoh oposisi lokal justru lebih sering tampil di media dengan kritik yang menyasar program-program Arwana


2. Strategi Komunikasi Branding Alegkada


Pengembangkan strategi branding terintegrasi:

  • Reframing narasi bupati : dari “program fisik” ke “transisi generasi produktif desa”
  • Kampanye mikro berbasis komunitas: menggunakan tokoh lokal dan alumni pelatihan digital
  • Optimalisasi media lokal dan medsos: pelatihan media untuk tim Humas, memperluas jangkauan liputan positif, dan storytelling berbasis testimoni


3. Narasi Kebijakan Sesuai Aspirasi Publik


Dari survei aspirasi publik, ditemukan bahwa 64% warga pedesaan lebih menghargai “peluang kerja anak muda” daripada sekadar infrastruktur. Program pelatihan digital dirumuskan agar dikemas ulang menjadi “Gerakan 10.000 Wirausaha Muda Digital” dan bukan hanya “pelatihan komputer.”


Output yang Dicapai


  1. Dalam 6 bulan, peningkatan awareness terhadap program unggulan Arwana naik dari 51% menjadi 76%, berdasarkan survei evaluasi.
  2. Elektabilitas naik menjadi 34%, meningkat 7 poin namun tetap belum melewati batas aman.
  3. Aktivitas media sosial naik drastis, engagement meningkat, namun efek di segmen usia tua tetap rendah.

Post Analisis: Mengapa Tidak Maksimal?


1. Keterlambatan Mengemas Narasi

Narasi besar baru mulai dibentuk di tahun ke-3, padahal persepsi publik sudah terbentuk sejak tahun pertama. Reputasi politik bersifat kumulatif – jika tidak dikapitalisasi sejak awal, momentum hilang.

2. Kepemimpinan Komunikasi Tidak Terdistribusi

Tim dalam terlalu teknokratis. Tidak ada figur komunikator publik yang kuat selain bupati. Sementara, oposisi lebih aktif dalam membentuk narasi negatif dan mengisi ruang kosong opini publik.

3. Kurangnya Konsistensi Advokasi di Lapangan

Program branding kuat di media sosial, tetapi tidak selalu nyambung dengan suara dan cara bicara di tingkat kecamatan atau desa. Tim relawan lokal tidak dilibatkan dalam strategi komunikasi.


Lesson Learnt


  1. Brand politik adalah aset yang harus dibangun dari hari pertama menjabat, bukan saat ingin maju lagi.
  2. Komunikasi publik bukan pelengkap, tapi bagian inti dari kebijakan. Bila rakyat tidak merasa kebijakan itu milik mereka, maka itu hanya menjadi berita, bukan dampak.
  3. Segmentasi publik penting. Tidak bisa hanya menyasar generasi muda di media sosial, sementara segmen pemilih usia tua dan ibu rumah tangga diabaikan.



Penutup


Kasus Bupati ini menggambarkan bahwa kerja keras saja tidak cukup dalam politik. Tanpa narasi yang kuat, strategi advokasi yang tepat, dan pemetaan aspirasi yang presisi, maka kerja nyata bisa kalah dari opini. LKSP hadir sebagai mitra strategis untuk menjembatani kinerja dengan persepsi, dan persepsi dengan kemenangan.